Jumat, 05 Desember 2008

"Nabi2" Blog

Kutipan dari Blog orang lain.

Sebelum Anda gusar dengan judul di atas, saya tegaskan bahwa harusnya kata “nabi-nabi” ditulis dengan tanda petik. Karena, hal itu bukan dalam arti sesungguhnya sebagai khalifah fil ardhi untuk menyebarkan risalah agama. Namun, “nabi-nabi” adalah gambaran orang-orang yang berupaya menyebarkan persepsi, interpretasi, dan persuasi tentang masalah agama kepada orang lain. Kenapa harus dengan tanda petik?

Selain berkaitan dengan petunjuk Allah SWT bahwa nabi terakhir adalah Rasulallah Muhammad SAW, obyek yang saya maksud adalah orang-orang yang cenderung memaksakan pemahaman itu dengan dalil yang asal-asalan. Bahkan, cenderung fitnah. Di samping itu, tentu saja berhubungan dengan keinginan, agar mesin pencari lebih mudah menemukan kata-kata kunci di atas.

Penegasan ini harus saya diletakkan di paragraf teratas, dengan harapan, para pembaca bisa memahami inti permasalahan dan tidak membias pada bingkai-bingkai pemikiran lain. Bukan lantaran takut dengan reaksi atau komentar pembaca. Namun, hal ini lebih didasarkan motivasi, agar pesan itu diterima dengan lapang dan benar.

Cerita kali ini bermula dari keluhan seorang teman yang gusar disebut go”BLOG”er oleh temannya, lantaran ia rajin menulis di blog-blog pribadi dan perusahaan. Ia ikutan menulis di blog milik perusahaan, katanya, karena kesal terhadap wacana yang disodorkan teman-temannya. Kenapa? Karena, seorang teman wartawan beragama non-Islam tega mengulas kasus zakat!

Tiba-tiba, ia ngotot untuk menjadi bagian dari blog itu. Tujuannya, sekadar menjaga kredibilitas blog perusahaan dan mengimbangi kekeliruan membagikan analisis masalah. Selain, ia pun memang sedang sangat berkeinginan untuk “berwasiat soal kebenaran dan kesabaran” seperti yang diamanatkan Baginda Rasulullah SAW. Berlebihan?

Saya pastikan, tidak. Karena, niat itu begitu mulia di mata saya. Tidak ada yang keliru dengan niat kebaikan. Terlebih lagi, ia memasuki ranah fisabilillah atau berjuang untuk jalan Allah SWT, yang hitungannya tidaklah seksi.

Belakangan ini, sang Penulis Blog mengungkapkan keluhan baru. Bila dulu ia hanya tertawa-tawa disebut anggota komunitas go”BLOG”er, kali ini ia benar-benar marah. Sangat-sangat marah! Pasalnya, berkaitan dengan blog atau situs yang mengungkap sisi terbalik tentang Baginda Rasulullah SAW dan Allah SWT. Saat itu menuturkan masalah itu, titik-titik air bening bermunculan di sudut matanya. Subhanallah.

“Belum lagi fitnah berbentuk kartun di xxxxx.wordpress.com hilang dari ingatan, saya juga menemukan fitnah-fitnah berbentuk tulisan dan gambar di fxxxxx.blogspot.com, faxxxxxxxm.org, dan axxxxxxxh.blogspot.com. Kekejian itu bukan hanya untuk Baginda Rasulullah SAW, tapi juga terhadap Allah SWT! Ini keterlaluan!”

“Semula saya berpikir, penulisnya pasti dari kalangan agama tertentu. Tapi, setelah diteliti lebih hati-hati, saya yakin, mereka cenderung dari kalangan yang tidak mempercayai Tuhan. Atheis. Atau, sedikitnya sinkretisme. Dan, dengan “kecerdasan” akalnya, mereka begitu percaya diri untuk memutarbalik tafsir tentang Al-Qur’an dan Hadits. Makin dibaca makin membuat kening berkerut. Hati ini panas juga jadinya. Tapi ingat cerita sampean dulu, pada masanya memang akan muncul nabi-nabi baru dengan kemasan khutbah yang aduhai namun menyesatkan. Mereka itu seperti bernafsu menjadi nabi-nabi blog! Naudzubillah,” katanya lirih.

Kali ini saya terdiam. Mengunci rapat-rapat mulut jadi lebih asyik dibandingkan buru-buru mengomentari keluhannya. Khawatir makin membakar amarahnya. Sehingga, justru dosa yang dipetik. Saat hati terus menyebutkan nama-Nya, pikiran saya justru menerawang pada cerita-ceritanya dulu.

Ia pernah begitu bangga dengan kedahsyatan teknologi dunia maya dan kekuatan sebaran informasinya. Sehingga, ia harus ikut bermain di dunia itu sambil mengobarkan semangat berbagi cerita kebaikan. Di dunia blogger itu juga ia mengenal istilah “pembela Tuhan”, “monopoli Tuhan”, “pencerahan”, dan berbagai istilah terbitan kaum pseudosufisme alias sufi-sufian. Ia bisa menyebutnya seperti itu, karena penulis dan pencetus istilah-istilah itu teman-temannya sendiri, yang sudah sangat dikenal perilaku sehari-harinya.

Ia pasti marah dengan fitnah tentang Baginda Rasulullah SAW, Karena, ia sangat meyakini bahwa sesungguhnya seluruh manusia diciptakan dengan bahan baku ruhaninya yang disebut Nur Muhammad. Kemuliaan namanya tercatat di langit ke tujuh dan disaksikan Nabi Adam AS saat bermunajat kepada Allah SWT di Taman Firdaus. Bahkan, Allah SWT dan para malaikat pun senantiasa bersalawat untuknya. Karena, Baginda adalah manusia paling sempurna dan mahsum – selalu terlindungi dari keburukan.

Bila ada sekelompok orang yang tega melontarkan fitnah, maka miliaran atau triliunan umatnya tidak akan peduli untuk terus bersalawat kepadanya. Karena itu, saya dan juga kaum muslim di mana pun akan selalu yakin, Baginda sangat berbeda dengan imajinasi orang-orang yang tidak mengenalnya. Meski gambar atau kartun yang mencoba “memainkan” fantasi kita bermunculan, maka kaum muslim yang istiqomah secara kaffah akan mendapati hadrah-nya. Subhanallah.

Itu baru sebagian kecil cerita tentang Sang Kekasih Allah. Bila halaman ini direntangkan hingga negerinya Tuan Obama, maka dijamin tidak akan sanggup memuat uraian dan segala kemuliaannya. Dan bila dituturkan secara lisan, maka waktu pun tidak akan sanggup menahannya.

Jangan dibayangkan, bila kita ingin mengurai tentang ada-Nya, kuasa-Nya, rahman-Nya, rahim-Nya, dan… Sudah pasti, tidak ada lagi halaman dan waktu yang bisa disediakan. Terlalu banyak dan akal ini tidak akan sanggup menampungnya. Karena itu, terlalu kecil dan sangat tidak bermakna semua fitnah dan upaya pemaksaan faham melalui blog, seperti yang dilaporkan teman saya itu. Mereka menulis dan menyebarkan semua gagasan itu, karena mereka tidak tahu dan tidak pernah mengenalNya.

Andai mereka tahu nikmatnya shalat, mereka pasti akan melipatgandakan rakaat shalatnya. Karena, shalat merupakan “ruang” yang disediakan untuk mendekatiNya. Andai mereka tahu nikmatnya dzikir, mereka pasti akan melantunkannya tanpa henti di bibir dan hati. Karena, dzikir merupakan kesempatan untuk menyediakan “ruang” khusus untukNya di dalam kolbu. Andai mereka tahu nikmatnya berdoa, pasti mereka akan menyerukan seluruh permintaannya. Karena, doa merupakan kesempatan untuk terus menyapa-Nya.

Andai mereka tahu nikmatnya puasa, mereka pasti akan melaksanakannya di hari-hari selain di bulan Ramadhan. Karena, puasa merupakan kesempatan untuk menunjukkan bakti dan kecintaan-Nya kepada makhluk lain. Andai mereka tahu nikmatnya zakat, mereka pasti akan terus membagikan hartanya untuk kaum mustahik. Karena, zakat merupakan kesempatan untuk menjadi kepanjangan sifat rahman-rahimNya.

Andai mereka tahu nikmatnya haji, mereka akan terus menjadi tamu-Nya di setiap waktu. Karena, haji merupakan ruang ternikmat untuk berdekatan dan merasakan kehadiran-Nya. Bahkan, dalam suatu silaturahim akbar. Andai mereka tahu seluruh amaliyah itu akan membuktikan makna syahadat, maka mereka tidak akan pernah ragu lagi untuk mengamalkannya dengan keikhlasan. Karena, syahadat yang sesungguhnya adalah penyaksian akan-Nya.

Persoalannya, hidayah tidak bisa dibeli di pasar swalayan. Dan, tidak semua orang bisa memaknai setiap peristiwa sebagai hidayah untuk mendekatkan diri kepadaNya. Padahal, hanya dengan hidayahlah seseorang akan terdorong untuk mengamalkan amaliyah itu. Dan dengan totalitas amaliyah itu, ia akan benar-benar mengenalNya. Bukan karena pengaruh cerita ustadz atau perjalanan ibadah yang sekilas, tapi karena haqqul yaqin. Yakin karena ma’rifat!

Saya tidak berani mengumbar renungan itu kepada teman yang tengah galau itu. Karena, saya tidak yakin, apakah ia pun bisa menerima dan memahaminya dengan baik. Saya khawatir, jangan-jangan saya pun bakal dituduh ingin menjadi nabi. Meski, bukan nabi blog. Dan, berabad-abad yang lampau, Allah SWT telah menurunkan firman-Nya kepada Baginda Rasulullah SAW, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”

Saya juga teringat pesan seorang Guru Mursyid ternama dari Pondok Pesantren Suryalaya Pangersa Abah Anom, “untuk tidak mencampuri pengajaran murid lain dan tidak pernah marah akan ejekan murid lain.” Entah apa teman saya masih mengingat pesan-pesan itu (?). Yang pasti, kini saya mengerti, kenapa temannya teman saya itu melemparkan istilah go”BLOG”er. Jangan-jangan, ya jangan-jangan…